Selasa, 11 Februari 2014

DESPERATE HOUSEWIFE

          Judul di atas memang sama dengan serial tivi barat yang dibintangi aktris Hollywood terkenal, tapi saya tidak akan membahas soal serial itu tapi serial nyata dalam kehidupan yang mungkin saja saya, teman-teman saya di dunia nyata dan atau beberapa dari kita pernah mengalaminya. Hal ini juga terbersit karena hasil blogwalking dari blognya bunda Fiqhtiya yang membahas peranan wanita.
          Mengapa harus istri yang putus asa ? Bukan hanya saya saja yang terkadang mengeluhkan betapa lelahnya menjadi ibu rumah tangga ditambah sikon yang “luar biasa” bagi wanita seperti saya. No husband tapi belum divorced juga. Ok mungkin contoh dari saya terlalu kompleks, saya akan mengambil contoh dari seorang kawan baik saya di dunia nyata. Dia wanita yang baik hati, enak diajak bergaul, ngobrol,pengetahuannya juga luas namun ia selalu merasa menjadi deperate housewife. Lelah dengan peran istri yang ia jalani, mungkin karena ia tipe perfecsionis dalam hal mengurus rumah, tidak akan berhenti sebelum rumah benar-benar bersih dari teras hingga dapur. Hal ini bertolak belakang dengan suaminya yang tidak teratur, handuk, baju kaos atau barang-barang miliknya bisa saja tergeletak dimana-mana.
          The question is ? katanya agama kita menghormati perempuan kok kayak pembokat gini ? she said. Maklum karena pengetahuan agamaku yang juga masih dangkal, aku cuma bisa memberikan sedikit gambaran jika apa yang kita kerjakan di rumah keseharian itu adalah ladang amal kita, berbuah pahala yang mengisi bekal kita di sana nanti. Dia masih mendebatnya, menurutnya tidak adil, oke itu adalah amal kebajikan kita katanya tapi sebagai manusia biasa kita bisa merasa lelah, laki-laki enak, cari duit di luar hanya separuh hari perempuan bertugas itu dua puluh empat jam ! (nb : temanku ini juga seorang pns, dari tempat asalnya ia seorang bendahara yang memiliki jam kerja padat namun setelah pindah ke kota ini ikut suami ia memilih bekerja di kantor yang jam kerjanya tidak terlalu padat agar ia bisa menghandle urusan anak-anak dan rumah dengan baik). Jika saja tak ada landasan agama dan tak mau mencari jawaban dalam agama mungkin saja saya dan dia ikut arus dalam feminisme.
          Semua sifat dan pemahaman manusia memang tidak sama, bisa jadi di luar sana masih ada laki-laki yang baik kepada istrinya. Tak segan membantu pekerjaan rumah tangga, berbagi tugas, berdiskusi jika terjadi sesuatu dan menjadi sahabat yang baik bagi istrinya. Adakah ? mungkin...
Saya dan teman saya mungkin sebagian kecil wanita-wanita yang desperated dengan keadaan rumah tangga kami hingga kadang berpikir lebih baik menjadi single dari pada berpartner namun sama sekali tidak bisa menjadi penyeimbang hidup. Tanpa pria hidup jadi tidak merepotkan, kami bisa cari nafkah sendiri, bisa membesarkan anak sendiri, dan tak merasa hanya menjadi cleaning servis, loundry,babby sitter, dan penghibur di atas ranjang. Toh anak-anak masih bisa berkomunikasi dengan ayah mereka, jika alasan bahwa anak-anak masih membutuhkan ayah mereka.
          Pemikiran kami ini mungkin saja berbeda dengan perempuan-perempuan yang paham dengan agama, menerima segala kondisi rumah tangga dengan sabar dan lapang dada, berkeyakinan kuat jika segala amal kebajikan istri akan mendapat ganjaran baik pula. Kami hanya istri-istri yang putus asa dan kelelahan karena merasa diabaikan dan kesepian. Intinya kami berumah tangga ingin hidup bahagia, menjadikan suami teman yang baik seumur hidup dan tidak selalu diingatkan dengan kewajiban istri,dosa istri, istri durhaka, istri yang masuk neraka. Kami juga tahu apa yang baik dan tidak baik, namun apakah suami tidak berdosa pula ? tidak durhaka dan tidak masuk neraka ?
          Saya menuliskan ini karena ingin mengeluarkan uneg-uneg saya saja, tadinya saya pikir hanya saya saja yang menjalani kehidupan desperate housewife, tenyata ada juga perempuan-perempuan lain yang mungkin masalahnya bisa lebih besar lagi dari saya. Namun saya dan teman saya tetap berpikir postif bahwa Allah SWT tidak pernah membuat posisi istri itu terpuruk, ini adalah ujian dimana kami ditantang untuk memilih bagaimana kami menyikapi dan menjalaninya. Mungkin masih butuh waktu bagi kami menjawab bagaimana kami akan mengakhiri rasa deseperate ini.

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar