Aku masih ingat aku memiliki tiga pasang sepatu kets dan dua pasang sepatu flat seperti sepatu balet dan satu high heels. Enam pasang Sepatu yang menemaniku selama tiga bulan meretas takdir dan bertaruh waktu. Tiga bulan yang penuh semangat dan berakhir dengan kekalahan yang luar biasa sakitnya. Wamena... kota kenangan yang tak akan pernah terlupakan juga sosok-sosok kawan yang akan terus terkenang. Saat itu ku pikir tak ada yang salah jika aku ingin meraih cita-cita ku lagi di bangku kuliah itu. Aku percaya dengan kemampuanku, aku pasti akan mneyelesaikannya dengan baik. Sepatu-sepatu itu menjadi kawan di langkah-langkahku menuju impianku. Aku masih ingat motif kotak dari sepatu kets ku, warna hijau, biru, dan coklat, dua sepatu baletku masing-masing berwarna coklat tua dan hitam serta high hels yang hitam licin mengkilat. Disuatu waktu aku pernah mengalami kejadian yang membuat wajahku merah padam menahan malu. Aku terburu-buru berangkat ke kampus, sambil berjalan bergegas menyusuri selasar ruangan dan menaiki tangga aku merasa ada yang aneh dengan sepatu yang aku pakai. Hingga satu mata pelajaran usai baru lah aku menyibak rok hitam panjangku, daaan.... teman sebangku tertawa cekikikan melihat betapa manisnya pasangan sepatuku ini, kanan coklat kiri hitam.
Langkahku akhirnya terjegal di bulan ketiga, saat aku senang-senangnya belajar dengan kawan-kawanku, layaknya mahasiswa baru. Apalagi di ruangan kami jumlah mahasiswa pendidikan bahasa inggris kala itu hanya 25 orang. Jadi kami saling dekat, akrab, dan saling bantu membantu dalam belajar. Aku sangat bersemangat mencari buku-buku penunjang yang dapat kami pakai bersama, gugling internet agar bisa ku print dan ku pinjamkan ke teman-teman. Sungguh mereka sangat baik padaku dan senyum serta keramahan mereka tulus bagi pendatang sepertiku. Aku harus berhenti kuliah, dan itu adalah kenyataan pahit setelah satu dekade aku memimpikannya. Impianku kandas untuk menyelesaikan pendidikan S1 Bahasa Inggris dan mimpi untuk mengabdi pada anak-anak Wamena. Aku harus pulang Ke Tana Luwu dan memulai asa baru dari nol yang jauh dari impianku sebelumnya. Namun aku tak akan menyesalinya, hal ini cukup memberiku pelajaran dan kenangan. Mungkin memang bukan takdirku tuk berada di jalur itu, Mungkin ada rencana lain yang sedang menantiku.
Nasib enam pasang sepatu itu ku serahkan kepada kawan-kawanku untuk kenang-kenangan, juga buku-buku yang aku miliki aku berikan kepada mereka yaaah seperti tongkat estafet dengan pesan "jangan pernah menyerah kawan, apa pun yang terjadi teruskan perjuangan kalian, wamena menunggu kalian untuk mendidik anak-anak masa depan,tetap lah semangat di tengah keterbatasan,dan berdoalah agar Tuhan memberi kemudahan !" aaahhh.... sungguh aku menjadi sangat rindu dengan mereka saat ini,pastinya mereka tidak lama lagi akan menyelesaikan studi dan menjadi tenaga pengajar di sana. wamena... terima kasih atas kenangan enam pasang sepatu, dinginnya kabut lembah, pinus yang indah dan senyum ramah persahabatanmu...